Thursday, May 28, 2015

Harus Apa Ketika: Kulkas Rusak

Dua-tiga minggu lalu, tanpa babibu sebelumnya, pagi-pagi tau-tau nemu freezer kulkas mencair semua isinya. Baru ketahuan karena lebih sering buka kulkas bawah dan nggak ada indikasi apa-apa. Pikiran pertama tentu telpon servis resminya, ya. Tapi kepikir juga jangan-jangan kerjaan bocah, nih, semalem nggak rapet nutupnya. Walo kayaknya nggak mungkin juga soalnya alarm kulkas nggak bunyi. Iya, kulkas gue akan bunyi tit-tit kalo kebuka dalam selang waktu tertentu. Bagus buat yang punya bocah, nih, ketauan kalo ada yang mainin kulkas..hahaha.

gambar dari sini via google, tapi ini exactly kayak apa yang dilakukan tukang servis kemaren.

Belakangan (baca: sejak berminggu-minggu lalu -_-) D4 emang kerjaannya nongkrong di depan kulkas. Ngisis. Ya maklum siihh, disini nggak ada AC, tapi kan ya gak gitu juga kalee *sigh. Ketimbang tengsin nelpon teknisi tapi taunya cuma gegara nutup kurang rapet, gue putuskan untuk nunggu aja barang beberapa jam. Biasanya klo pintu udah nutup bener, selang 3-4 jam pasti udah kelihatan proses pembekuan.

Tuesday, May 19, 2015

Tentang Donor ASI: Hukum Negara dan Hukum Islam

Lima tahun yang lalu, cari botol untuk menyimpan ASIP masih susah. Bahkan 10 tahun lalu pilihan pompa ASI masih sangat terbatas. Seiring makin meluasnya informasi tentang pentingnya ASI, makin meleknya pemahaman para ibu (dan bapak!), begitupun pengetahuan tentang memerah dan menyimpan ASI Perah (ASIP). Yang tadinya nggak pada tahu bahwa ASI bisa disimpan, bahkan dibekukan berbulan-bulan, jadi pada punya stok ASIP beku.



gambar dari sini

Printilan penyimpanan ASIP seperti kantong ASIP, botol kaca ASIP, stiker ASIP, cooler bag plus blue ice, bahkan sampai freezer yang difungsikan khusus untuk ASIP juga sudah banyak dimana-mana. Nah, dari keleluasaan sekarang ini, mulai ada penawaran dan kebutuhan akan donor ASI.

Donor ASI sebetulnya bukan hal baru. Ratusan tahun lalu ibu susu merupakan hal yang jamak, bahkan ada masanya merupakan profesi yang prestisius. Karena berkaitan langsung dengan nutrisi anak, otomatis ibu susu juga memiliki kriteria sendiri. Seperti misalnya saat keluarga Nabi Muhammad memilih Halimah sebagai ibu susu, betul-betul dicari seperti berdasarkan bibit bebet bobot. Hal ini karena sesuai syariah Islam nantinya anak yang disusui akan diperlakukan sebagaimana saudara sedarah dengan keluarga si ibu susu. istilahnya menjadi mahram.

Jaman sekarang ibu susu yang menyusui langsung nampaknya sudah sangat jarang, ya. Tapi untuk pendonoran ASI tidak langsung (dimana pemberian ASI donor melalui media lain seperti pipet, botol, sendok dll) sepertinya meningkat karena berbagai alasan. Contohnya:
  • over supply ASI sehingga kelebihan stok ASIP,gue
  • ibu meninggal ketika melahirkan,
  • ibu menyusui punya masalah yang menyebabkan produksi ASInya menurun sehingga butuh donor,
  • bayi mengalami growth spurt dan produksi ASI si ibu kurang bisa menyesuaikan, dll.
Melihat kondisi ini, gue penasaran bagaimana sebenarnya kedudukan hukum pendonoran ASI ini baik dalam hukum Indonesia maupun Islam. Hukum Islam dipandang lebih complicated karena memandang saudara sesusuan menjadi saudarah sedarah, sementara di ajaran agama dan kepercayaan lain tidak mengatur tentang ini.

Bagaimana pandangan dari sisi hukum, baik negara maupun Islam?

Dari hukum Indonesia, tidak ada masalah yang mengikat, kecuali bila proses pendonoran ASI dilakukan dengan sistem jual-beli. Dimana sesuai Pasal 11 ayat (2) PP 33/2012 ayat e: ASI tidak diperjualbelikan. Tapi disitu tidak ada keterangan juga apa sanksi yang bisa diberikan bila dilakukan jual-beli. Jadi tinggal dikembalikan kepada pemberi dan pendonor, syarat apa yang hendak ditetapkan dalam pendonoran ASI.

Yang disarankan untuk diperhatikan diantaranya:
  • identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI;
  • persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI;
  • pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis.
Plus beberapa orang menambahkan bahwa pendonor diharapkan:
  • tidak merokok (lebih baik lagi kalau juga tidak terpapar rokok dalam kesehariannya), minum alkohol, dan mengkonsumsi narkoba.
  • memiliki kebiasaan makan sehat berimbang.
  • beragama Islam bila penerima juga muslim, dengan pertimbangan mengenai konsumsi makanan tidak halal.
  • mempunyai bayi dengan jenis kelamin yang sama dengan penerima untuk menghilangkan masalah dikemudian hari terkait mahram secara langsung (kedua anak sesusuan menikah), walau masih akan ada keterikatan mahram dengan keluarga kedua pihak.
  • Usia bayi yang dapat menjadi mahram karena sepersusuan adalah dibawah dua tahun. Diatas dua tahun dalam kondisi apapun dianggap tidak mungkin jadi mahram dengan sebab sepersusuan.
  • Ada ukuran banyaknya frekuensi penyusuan yang berakibat jatuhnya mahram, yaitu minimal lima kali susuan langsung. Ada juga pendapat lain yang memegang lima hari menyusu langsung.
  • Pengukuran satu kali susuan didasarkan lamanya bayi menyusu langsung sampai dilepas dengan sendirinya.
  • Melepas/berhenti menyusu sementara untuk menarik nafas sebentar atau berganti posisi tidak dihitung sebagai akhir satu persusuan.
Nah, yang jadi pertanyaan:
  1. Bagaimana dengan persusuan tidak langsung/melalui media? Apakah mahram juga bisa jatuh atau hanya jatuh bila dilakukan langsung?
  2. Bagaimana juga dengan penerima donor ASI yang asalnya tidak hanya dari satu pendonor?
  3. Dari patokan lima kali persusuan langsung, jika dikonversikan ke dalam jumlah ASIP, jadi berapa banyak? (Mungkin ada patokan jumlah mililiter ASIP atau pedoman lain).
Sayangnya nara sumber yang gue temui di acara AIMI Workshop ASI untuk Ustad/Ustadzah, yaitu dr. Asti Praborini, Sp.A, IBCLC dan Ust. Ahmad Misbah Habib, M.Pd juga tidak bisa menjelaskan dengan gamblang poin-poin yang tersebut. 

Jadi yang bisa disimpulkan:
  • Jadikan opsi donor ASI sebagai opsi terakhir. Jika ada masalah dalam produksi ASI atau kesulitan menyusui, baiknya masalah tersebut dicari solusinya terlebih dahulu.
  • Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pendonoran ASIP yang diminum melalui media tidak/lemah kedudukannya dalam menjadikan mahram. Diantaranya dari pendapat Yusuf Qardawi.
  • Belum ada ukuran baku jumlah ASIP yang disepakati untuk menjadikan mahram.
  • Keputusan mengikuti pendapat/mazhab yang mana kembali pada masing-masing pendonor/penerima.
  • Simpan catatan data kontak pendonor/penerima sebagai referensi di kemudian hari.
  • Cantumkan/mintalah data kesehatan dan riwayat penyakit yang pernah dialami sebagai pendonor/penerima donor dengan lengkap.
  • Sebaiknya tetap menjaga silaturahmi antara keluarga pendonor dan penerima walau bayi sudah besar, terutama yang donornya dalam jumlah cukup banyak sehingga dimungkinkan telah jatuh mahram.
Moga-moga tulisan ini bisa bantu Mama-Mama yang sedang mempertimbangkan untuk kasih donor atau mencari donor ASI.

Monday, May 11, 2015

We are Mommies, We are Examples

Belakangan sering melintas di timeline media sosial gue status-status remaja yang begitu ringan menghujat orang, bahkan ibu kandungnya sendiri. Dari yang nyolotin ibu hamil di KRL, menghina kota Yogyakarta, sampai yang terakhir maki-maki ibu kandung karena laptop kesiram air. Terlepas dari kasusnya riil atau hoax (beberapa riil, sih), dan pelakunya sudah lewat usia remaja walau masih masuk 20an, gue lebih miris baca komen orang-orang di post atau status yang men-share kasus tersebut.


gambar dari sini

Somehow, gender stereotyping memang masih belum bisa lepas dari masyarakat kita, ya. Dimana perempuan, apalagi ibu-ibu, dituntut lebih sopan, lebih santun, lebih beradab berbahasa terutama di ruang publik ketimbang anak-anak atau bapaknya. Nggak adil kayaknya, ya? Tapi gimana lagi, dibanding ayahnya, si Ibu pasti yang lebih dahulu dipertanyakan (baca: dikatain :p),"...emaknya kagak ngajarin, apah?", kalo tutur kata anaknya kurang baik.

Kalo nurutin emosi, mungkin gue juga ikut antri maki-maki di socmed. Masalahnya makian gue bakal kebaca sama kontak atau follower gue, yang bisa jadi itu adalah anak gue, guru sekolah anak, teman anak, sesama wali murid, orang tua atau guru gue sendiri atau bahkan nenek kakek gue. Apakah sekiranya kita akan berteriak memaki-maki seperti itu kalo lagi ada di depan muka mereka?

Ntar dianggep pencitraan di socmed karena bermanis tulisan atau sok sopan? Yeah, orang boleh menilai apa aja. Tapi gue inget betapa saat gue kecil Ibu dan Eyang susah payah mengajarkan gue berbicara yang baik, bahkan diajari kromo inggil (bahasa Jawa paling halus yang cuma ditujukan pada orang-orang yang dihormati seperti orang yang lebih tua atau orang terhormat seperti pejabat atau raja). 

Mulut gue bisa ditabok Ibu atau Eyang kalau gue sampai berani ngomong kotor di depan mereka. Terus sekarang gue begitu aja maki-maki walau cuma di internet? Bukankah gue ngajarin dan berharap anak gue juga berkata yang baik dan sopan? Terus anak gue kudu mencontoh siapa kalau gue sendiri gak bisa jaga mulut (baca: jari) gue? Jangankan orangtua nggak kasih contoh baik, sudah dikasih contoh baik, pun, anak dapet aja contoh jelek dari luar sana dan dibawa ke rumah.

"Ah, anak gue 'kan masih kecil jadi belum punya socmed dan gak bisa baca status atau posting maki-maki gue". Apa anak selamanya kecil? Apa anak selamanya nggak punya socmed atau mengakses internet? Enak-enak gugling cari bahan buat ngerjain PR, eh, tau-tau ngelink ke socmed ortu. Kebetulan lagi posting maki-makinya diset publik biar banyak yang baca dan banyak yang nge-like. Nah, lho... 

Kalo sekarang aja ada aplikasi TimeHop yang bisa menarik ulang status kita bertahun-tahun yang lalu, besok-besok bisa ada aplikasi yang bahkan lebih canggih, kan? Terus apa alasan kita kelak saat anak bertanya kenapa Mama banyak marah-marah di media sosial? Kenapa Mama boleh maki-maki tapi aku nggak?

Justru mumpung anak masih kecil, sebisa mungkin kita nggak kasih mereka excuse,"Ah mama kan juga gitu!", saat kelak kita menegur mereka. I've been there, untuk masalah yang lain. Dan itu membuat teguran kita jadi nggak dianggap sama anak. Mereka nggak akan paham bahwa bagaimanapun buruknya pembawaan orangtuanya, kita tetap ingin anak-anak lebih baik dari kita. Yang mereka paham adalah,"Kalau orangtua boleh begitu, berarti aku juga". 

Yuk, ah, kerjain PR lagi. Jadi orangtua emang perlu banyak belajar. Nggak bisa seenaknya sendiri kayak dulu jaman belum punya anak kalau nggak mau anak juga seenaknya sendiri. Apalagi sebagai Ibu, we are the closest examples.

Happy Mother's Day fellow mothers! #momhug


*edited version published in http://mommiesdaily.com/2015/04/10/mommies-waspadai-jejak-digital-anda/

Tuesday, May 5, 2015

Blogger: How to Change Blogpost Line Height

I was googling for this yesterday, and despite of finding some blogs and help tutorials, they aren't very update with the current Blogger customization steps.

Most advices is to:
  1. Go to Dashboard then Design then Edit HTML.
  2. Find some line with post-body then line-height. It suppose to look something like this:
  3. .post-body {
      line-height: 2;
    }
  4. Change the number to whatever line height you desire.
  5. Save the template.
  6. Check with your post/refresh your blog to see if it goes right.
BUT none of the tutorials I read mentioned about how to find that specified "post-body" 

Monday, May 4, 2015

Jangan Abaikan Cerita Balita

Ternyata, ya, salah satu pangkal dari diamnya anak adalah sikap kita sendiri saat dulu anak masih mulai belajar berbicara? Saat anak banyak bertanya dan pertanyaannya diulang-ulang, bagaimana reaksi kita dan orang dewasa disekitarnya? Meladeni semua pertanyaan, mendiamkan sampai berhenti sendiri, atau malah membentak supaya diam sembari mengeluh capek atau pusing mendengar pertanyaan yang beruntun nggak selesai-selesai? #jleb.


gambar dari sini

Sebenarnya anugerah, lho, punya anak yang sukarela bercerita tanpa harus dipancing-pancing. Gue ngalamin sendiri punya anak yang introvert dan ekstrovert. Yang satu ditanya aja belum tentu jawab, satunya lagi nggak pake ditanya cerita sendiri dan nggak berhenti-berhenti...haha. Jangan lupa juga bahwa kita, orangtua, (harusnya) adalah pendengar pertama dari anak. Jangan cuma seneng pas anak sukses ngomongin kata pertamanya aja, tapi begitu berlanjut ke seribu pertanyaan orangtua langsung mencap anaknya bawel dan ceriwis.