Tuesday, February 24, 2015

Orangtua, Konsultan atau Pembantu?

Masih yang tersisa dari heboh buku si psikolog, tapi kali ini bukan tentang isi bukunya, melainkan metode parenting yang diperkenalkan psikolog tersebut. Kebetulan di beberapa poin sejalan dengan pola yang gue anut dengan mengadopsi sebagian gaya orangtua gue. Tapi seperti biasa, nggak ada ceritanya gue telan mentah-mentah semuanya. Pasti ada penyesuaian lagi karena tiap keluarga berbeda. Jadi bukan gue yang menyesuaikan pola parenting dengan saran psikolog (siapapun itu). Tapi lebih ke pola mereka yang sesuai dengan gue, syukur-syukur dengan penerapan yang lebih ok, gue adopsi.


gambar doc pribadi

Salah satu yang cocok dengan pola gue adalah tentang kemandirian dan posisi orangtua dalam keseharian anak. Semua ilmu parenting yang gue tahu salah satu targetnya adalah kemandirian anak. Bagi gue, poin tersebut gue sambungin sama konsekuensi atau resiko. Tadinya kirain semua orangtua mau anaknya mandiri, lho, tapi percaya, nggak, kalau banyak juga yang masi menyabot kemandirian anak demi 'nggak tega'?

GUE memang mama yang tega.

Anak main dan berantakan, rapikan dulu sebelum pindah aktivitas, termasuk makan. Gue cuek dan tega membiarkan makan tertunda sebelum mainan rapi.

Dellynn (8 tahun) kalau ngantuk masih suka rewel berusaha skip bebersih, sikat gigi, dan shalat Isya. Gue pernah biarin dia tidur di sofa sampe pagi sebelum semua kelar diberesin.

Devan (5.10 tahun) tugasnya tiap pagi masukin sendiri bekal yang sudah disiapkan ke tas. Sekali waktu bekalnya ketinggalan, ya, gue biarin lah sampe dia pulang lagi. Gue juga kalem-kalem aja biarin dia telat masuk sekolah kalau lelet pakai kaos kaki dan sepatu. Pakai kaos kaki berantakan pun nggak gue betulin. Biar dirasain sendiri sesuai kenyamanan dia, biar tahu rapi itu nyaman.

Darris (10 tahun) dan Dellynn suka lelet dan nggak ngitung waktu buat siap-siap ke sekolah. Gue biarin mereka telat karena wajib sarapan pagi dulu meski jam sudah mepet.

Dellynn, Devan, dan Dendra (2.10) kalau makan lauknya abis duluan. Gue tega biarin mereka makan sisa nasinya saja tanpa lauk. Kalau gue kasih tambahan lauk, itu berarti ngambil jatah lauk orang lain. Harus belajar mencukupkan apa yang sudah diberi.

Konsekuensi akan membuat mereka merasakan tidak enaknya akibat dari perilaku.
Tidur di sofa = panas, sempit, nggak ada guling = lain kali nggak pakai rewel kalau harus sikat gigi dll.
Bekal ketinggalan = lapar = kalau nggak mau kelaparan lain kali lebih teliti mengecek apa bekal sudah masuk tas.
Kalau nggak mau terlambat, efektifkan waktu persiapan sekolah, atau bangun lebih pagi, dst.

Gue nggak mau ambil alih tugas yang harus dilakukan anak. Gue nggak masukin bekal, nggak kirim bekal ke sekolah kalo ketinggalan, nggak pakein kaos kaki dan sepatu biar rapi dan cepet kelar, nggak nyuapin sarapan biar cepat abis, nggak nambah lauk kalo jatahnya udah abis. Gue kudu dianggep nggak ada, supaya mereka bisa mengatasi masalah sendiri. Gue bukan bemper yang bertugas seperti pembantu.

Ketimbang menanamkan bahwa gue (dan ayahnya) akan selalu ada untuk membantu anak-anak, gue lebih menekankan bahwa kami nggak akan selalu ada. Kenyataannya memang kami nggak bisa selalu ada. Di sekolah, saat main ke rumah teman, saat orangtua perlu pergi entah kemana tanpa anak, besok-besok mungkin anak sekolah atau kuliah di luar kota atau bahkan di luar negeri (aamiinn!), dst. Kami juga menekankan anak-anak untuk saling bantu dan kerjasama, karena kelak saat kami tidak ada, siblings still hang around.

Walau kami nggak mau turun tangan mengerjakan apa yang jadi tugas mereka, mereka tetap welcome menanyakan saran apapun. Kami lebih berperan sebagai konsultan, membantu menimbang resiko, positif-negatif, pelaksanaannya tetap di tangan mereka. Darris cenderung mengikuti saran kami, sementara Dellynn lebih memilih caranya sendiri. It's fine, walau tiap keputusan have their own consequencesBut that way they learn to consider and decide.

That was how we run things here. I hope it helps them grow well.


*edited version first published in 
http://mommiesdaily.com/2015/02/17/smart-parenting-menjadi-konsultan-bagi-anak/

No comments: