Showing posts with label donor ASI. Show all posts
Showing posts with label donor ASI. Show all posts

Tuesday, May 19, 2015

Tentang Donor ASI: Hukum Negara dan Hukum Islam

Lima tahun yang lalu, cari botol untuk menyimpan ASIP masih susah. Bahkan 10 tahun lalu pilihan pompa ASI masih sangat terbatas. Seiring makin meluasnya informasi tentang pentingnya ASI, makin meleknya pemahaman para ibu (dan bapak!), begitupun pengetahuan tentang memerah dan menyimpan ASI Perah (ASIP). Yang tadinya nggak pada tahu bahwa ASI bisa disimpan, bahkan dibekukan berbulan-bulan, jadi pada punya stok ASIP beku.



gambar dari sini

Printilan penyimpanan ASIP seperti kantong ASIP, botol kaca ASIP, stiker ASIP, cooler bag plus blue ice, bahkan sampai freezer yang difungsikan khusus untuk ASIP juga sudah banyak dimana-mana. Nah, dari keleluasaan sekarang ini, mulai ada penawaran dan kebutuhan akan donor ASI.

Donor ASI sebetulnya bukan hal baru. Ratusan tahun lalu ibu susu merupakan hal yang jamak, bahkan ada masanya merupakan profesi yang prestisius. Karena berkaitan langsung dengan nutrisi anak, otomatis ibu susu juga memiliki kriteria sendiri. Seperti misalnya saat keluarga Nabi Muhammad memilih Halimah sebagai ibu susu, betul-betul dicari seperti berdasarkan bibit bebet bobot. Hal ini karena sesuai syariah Islam nantinya anak yang disusui akan diperlakukan sebagaimana saudara sedarah dengan keluarga si ibu susu. istilahnya menjadi mahram.

Jaman sekarang ibu susu yang menyusui langsung nampaknya sudah sangat jarang, ya. Tapi untuk pendonoran ASI tidak langsung (dimana pemberian ASI donor melalui media lain seperti pipet, botol, sendok dll) sepertinya meningkat karena berbagai alasan. Contohnya:
  • over supply ASI sehingga kelebihan stok ASIP,gue
  • ibu meninggal ketika melahirkan,
  • ibu menyusui punya masalah yang menyebabkan produksi ASInya menurun sehingga butuh donor,
  • bayi mengalami growth spurt dan produksi ASI si ibu kurang bisa menyesuaikan, dll.
Melihat kondisi ini, gue penasaran bagaimana sebenarnya kedudukan hukum pendonoran ASI ini baik dalam hukum Indonesia maupun Islam. Hukum Islam dipandang lebih complicated karena memandang saudara sesusuan menjadi saudarah sedarah, sementara di ajaran agama dan kepercayaan lain tidak mengatur tentang ini.

Bagaimana pandangan dari sisi hukum, baik negara maupun Islam?

Dari hukum Indonesia, tidak ada masalah yang mengikat, kecuali bila proses pendonoran ASI dilakukan dengan sistem jual-beli. Dimana sesuai Pasal 11 ayat (2) PP 33/2012 ayat e: ASI tidak diperjualbelikan. Tapi disitu tidak ada keterangan juga apa sanksi yang bisa diberikan bila dilakukan jual-beli. Jadi tinggal dikembalikan kepada pemberi dan pendonor, syarat apa yang hendak ditetapkan dalam pendonoran ASI.

Yang disarankan untuk diperhatikan diantaranya:
  • identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI;
  • persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI;
  • pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis.
Plus beberapa orang menambahkan bahwa pendonor diharapkan:
  • tidak merokok (lebih baik lagi kalau juga tidak terpapar rokok dalam kesehariannya), minum alkohol, dan mengkonsumsi narkoba.
  • memiliki kebiasaan makan sehat berimbang.
  • beragama Islam bila penerima juga muslim, dengan pertimbangan mengenai konsumsi makanan tidak halal.
  • mempunyai bayi dengan jenis kelamin yang sama dengan penerima untuk menghilangkan masalah dikemudian hari terkait mahram secara langsung (kedua anak sesusuan menikah), walau masih akan ada keterikatan mahram dengan keluarga kedua pihak.
  • Usia bayi yang dapat menjadi mahram karena sepersusuan adalah dibawah dua tahun. Diatas dua tahun dalam kondisi apapun dianggap tidak mungkin jadi mahram dengan sebab sepersusuan.
  • Ada ukuran banyaknya frekuensi penyusuan yang berakibat jatuhnya mahram, yaitu minimal lima kali susuan langsung. Ada juga pendapat lain yang memegang lima hari menyusu langsung.
  • Pengukuran satu kali susuan didasarkan lamanya bayi menyusu langsung sampai dilepas dengan sendirinya.
  • Melepas/berhenti menyusu sementara untuk menarik nafas sebentar atau berganti posisi tidak dihitung sebagai akhir satu persusuan.
Nah, yang jadi pertanyaan:
  1. Bagaimana dengan persusuan tidak langsung/melalui media? Apakah mahram juga bisa jatuh atau hanya jatuh bila dilakukan langsung?
  2. Bagaimana juga dengan penerima donor ASI yang asalnya tidak hanya dari satu pendonor?
  3. Dari patokan lima kali persusuan langsung, jika dikonversikan ke dalam jumlah ASIP, jadi berapa banyak? (Mungkin ada patokan jumlah mililiter ASIP atau pedoman lain).
Sayangnya nara sumber yang gue temui di acara AIMI Workshop ASI untuk Ustad/Ustadzah, yaitu dr. Asti Praborini, Sp.A, IBCLC dan Ust. Ahmad Misbah Habib, M.Pd juga tidak bisa menjelaskan dengan gamblang poin-poin yang tersebut. 

Jadi yang bisa disimpulkan:
  • Jadikan opsi donor ASI sebagai opsi terakhir. Jika ada masalah dalam produksi ASI atau kesulitan menyusui, baiknya masalah tersebut dicari solusinya terlebih dahulu.
  • Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pendonoran ASIP yang diminum melalui media tidak/lemah kedudukannya dalam menjadikan mahram. Diantaranya dari pendapat Yusuf Qardawi.
  • Belum ada ukuran baku jumlah ASIP yang disepakati untuk menjadikan mahram.
  • Keputusan mengikuti pendapat/mazhab yang mana kembali pada masing-masing pendonor/penerima.
  • Simpan catatan data kontak pendonor/penerima sebagai referensi di kemudian hari.
  • Cantumkan/mintalah data kesehatan dan riwayat penyakit yang pernah dialami sebagai pendonor/penerima donor dengan lengkap.
  • Sebaiknya tetap menjaga silaturahmi antara keluarga pendonor dan penerima walau bayi sudah besar, terutama yang donornya dalam jumlah cukup banyak sehingga dimungkinkan telah jatuh mahram.
Moga-moga tulisan ini bisa bantu Mama-Mama yang sedang mempertimbangkan untuk kasih donor atau mencari donor ASI.

Monday, February 16, 2009

Hukum Islam Tentang Donor ASI

(sumber saya dari milis sehat)
Dear Pak Untung,

Insya Allah sudah dipertimbangkan dg dalam. Sebelum melakukan apapun biasanya saya mengkonfrimasi ke ahlinya. Dan informasi yg saya dapat bahwa tidak semudah itu hukum saudara sepersusuan dijatuhkan. Ada persyaratan sendiri utk menjadi saudara  sepersusuan, spt :

- menyusui langsung (bukan minum ASI peras),
- dilakukan selama 5 hari berturut-turut,
- anak berusia dibawah 2 tahun,
- dan si bayi tidak minum apapun kecuali asi (eksklusif).

Dan semua syarat itu harus ada. Komplit. Gak hanay separuh2 saja. Jika ya terpenuhi semua, baru jatuh hukum saudara sepersusuan atau muhrim.

Referensi tsb dijelaskan detail oleh Yusuf Qardawi di bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer. Insya Allah shahih.

Jadi kalo memberikan ASI peras bahkan menyusui sekali kepada seorg anak gak akan membuat ia menjadi muhrim utk anak kita.

Saya posting artikel dari fatwa tsb.

Tapi sekali lagi ini masalah keyakinan. Semua kembali ke kita masing ya pak. Kita jalankan yg yakin menurut kita. Mohon maaf bagi yg non muslim jika bahasan ini membahas soal agama. Karena kondisi ini masih related dg kesehatan dan berulang kali ditanyakan, maka rasanay perlu dishare kemabli agar tidak menimbulkan kebingungan.

Maaf jika tidak berkenan
Luluk

-------------------------------------

(Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press


BANK SUSU (1/2)
Dr. Yusuf Qardhawi

Pertanyaan

Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah.

Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek.

Maka, apakah oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara?
Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah Ustadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang jumlah mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?

Jawaban

Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk  memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya.
Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash

Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.

Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan "air susu" itu --yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya-- patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini?

Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur fuqaha-- karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.

Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.

Pertama, menjelaskan pengertian radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.

Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.

Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn' (Penyusuan)

Makna radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha -termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i-- ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa'uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.

Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan. Disebutkan di dalam al-Mughni "Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

"Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging"

Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.).

Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui penyusuan-- serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."

Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, "Kalau 'illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran."

Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada "keibuan yang menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:

"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)

Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari' di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha' dan radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.

Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.