Monday, May 4, 2015

Jangan Abaikan Cerita Balita

Ternyata, ya, salah satu pangkal dari diamnya anak adalah sikap kita sendiri saat dulu anak masih mulai belajar berbicara? Saat anak banyak bertanya dan pertanyaannya diulang-ulang, bagaimana reaksi kita dan orang dewasa disekitarnya? Meladeni semua pertanyaan, mendiamkan sampai berhenti sendiri, atau malah membentak supaya diam sembari mengeluh capek atau pusing mendengar pertanyaan yang beruntun nggak selesai-selesai? #jleb.


gambar dari sini

Sebenarnya anugerah, lho, punya anak yang sukarela bercerita tanpa harus dipancing-pancing. Gue ngalamin sendiri punya anak yang introvert dan ekstrovert. Yang satu ditanya aja belum tentu jawab, satunya lagi nggak pake ditanya cerita sendiri dan nggak berhenti-berhenti...haha. Jangan lupa juga bahwa kita, orangtua, (harusnya) adalah pendengar pertama dari anak. Jangan cuma seneng pas anak sukses ngomongin kata pertamanya aja, tapi begitu berlanjut ke seribu pertanyaan orangtua langsung mencap anaknya bawel dan ceriwis.


Menurut ibu Avin Yusro, S.Psi, M.Kes, Psikolog Anak Kementerian Sosial RI sebagai narasumber talkshow Memahami dan Merespon Informasi Anak Dalam Kasus Kekerasan Seksual, cara kita merespon anak bercerita atau berkomunikasi waktu kecil akan berpengaruh terhadap minatnya bercerita pada kita kelak ketika anak sudah besar. Anak yang sering tidak direspon, kurang didengar, dan diabaikan ceritanya akan mencari pendengar lain diluar orangtuanya.

Salah satu kasus yang diceritakan bu Avin, seorang anak SD laki-laki yang kurang mendapat perhatian saat bercerita pada orangtuanya, akhirnya menemukan teman mengobrol yang asyik, anak SMP. Karena si kakak SMP bisa meladeni pertanyaan dan obrolan si SD, maka si SD makin sering dan makin terbuka bertanya tentang apapun. Sampai pada titik tertentu bertanya tentang sunat, si kakak SMP menunjukkan alat vitalnya yang berlanjut ke pelecehan seksual. Saat orangtuanya tahu relasi si anak SD dengan si SMP, semua sudah terlambat...*waktu denger cerita ini peserta yang rata-rata ibu-ibu bergidik... :(.

Cerita ini bukan berarti kita harus parno pada semua orang dan menggeneralisir plus membatasi pergaulan anak. Tapi jika seandainya keterbukaan anak pada orangtuanya dan pada orang lain sama, ini tentu tidak akan terjadi. Bisa jadi justru anak akan lebih dulu bertanya tentang sesuatu yang pribadi pada orangtua. Atau setidaknya akan kroscek dulu apa yang dikatakan orang lain ke orangtuanya ketimbang langsung percaya mentah-mentah.

Yang belakangan ini yang sekarang sering dilakukan Darris dan Dellynn. Ini justru kesempatan kita membangun pola pikir dan logika anak dalam memproses opini orang lain. Kita nggak ingin, kan, anak mudah dipengaruhi omongan orang, begitu saja percaya kata-kata orang tanpa kroscek atau mencari kebenaran opini tersebut. Nah, ini saat yang enak untuk berdiskusi. Nggak pakai susah cari bahan diskusi tinggal bongkar bahan data dan fakta, kalau perlu gugling bareng, lalu memprosesnya bersama-sama.

Sudah siap berdiskusi dengan anak? Bangun dulu suasana mengobrol yang enak, ya. Seperti yang sudah saya tulis diatas, itu tidak dibangun dalam satu-dua hari saja, tapi sejak anak bahkan baru mulai belajar bicara. Jangan lupa juga bahwa lebih banyak mendengar akan membuat kita lebih banyak mendapat informasi ketimbang lebih banyak bicara :). Dan soal anak, yakin, deh, kita lebih butuh info daripada memberi info.


*edited version published at http://mommiesdaily.com/2015/04/21/jangan-abaikan-cerita-balita/

No comments: